Jenis Ayam
Ayam jantan sebagai simbol kekuatan, Cindelaras dan Ciung Wanara, Clifford Geertz sabung ayam, Domestikasi ayam Indonesia, Etimologi kata ‘jago’, Folklore sabung ayam, Interpretasi simbolik budaya, La Galigo dan sabung ayam, Makna ‘jago’ dalam budaya, Perjudian dan simbolisme sosial, Prasasti Bali dan sabung ayam, Sabung ayam dalam mitos dan epik, Sabung ayam Nusantara, Sakralitas tajen ayam di Bali, Simbolisme ayam dalam ritual, Status sosial dalam sabung ayam, Tabuh rah vs tetajen, Tajen ayam, Tajen ayam dalam budaya Bugis, Taji ayam dalam kepercayaan Bali
Drh. Ahmad Hidayat
0 Comments
Kekuatan dan Keberanian: Menyelami Sejarah Sabung Ayam di Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam domestikasi ayam. Selama ini, pusat domestikasi ayam dunia hanya dianggap ada di Sungai Kuning di Cina dan lembah Indus di India. Namun, Indonesia juga memiliki cerita yang kaya mengenai sabung ayam. Sejarah interaksi antara manusia dan ayam di Indonesia mungkin menjadi kunci mengapa mitos ayam jantan begitu terintegrasi dalam budaya lokal.
Sabung Ayam dalam Perspektif Clifford Geertz
Clifford Geertz menerapkan paradigma interpretasi simbolik untuk menjelaskan makna di balik sabung ayam di Bali. Ia mengungkap bahwa sabung ayam jago memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Bali. Di balik praktik sabung ayam, terdapat budaya yang besar terkait status, kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang membentuk budaya Bali. Menurut Geertz, sabung ayam lebih dari sekadar perjudian; ia merupakan simbol ekspresi status dan otoritas.
Makna ‘Jago’ dalam Bahasa dan Budaya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ‘jago’ berarti “ayam jantan” dan juga dapat berarti “calon utama dalam sebuah pemilihan,” “juara,” atau “kampiun.” Dalam bahasa Jawa, ‘jago’ merujuk pada ayam, namun juga mengandung makna konotatif yang sama dengan pengertian dalam KBBI.
Secara etimologis, kata ‘jago’ diperkirakan berasal dari kata Portugis ‘jogo’ yang dilafalkan ‘zhaogo’ dan secara harfiah berarti “permainan.” Istilah ini diperkirakan terkait dengan praktik sabung ayam yang sangat populer di kalangan orang Portugis di Nusantara. Meskipun tidak jelas kapan tepatnya istilah ini mulai diserap ke dalam bahasa lokal seperti Melayu atau Jawa, jelas bahwa ada pengaruh dari bahasa Portugis.
Sabung Ayam dalam Folklore dan Epik Nusantara
Masyarakat Jawa juga mengenal kisah rakyat Cindelaras, yang berlatar belakang zaman Kerajaan Jenggala pada abad ke-11. Cerita ini menyoroti sabung ayam dan relasinya dengan simbol kekuasaan. Di sisi lain, masyarakat Sunda memiliki kisah Ciung Wanara yang berasal dari Kerajaan Galuh pada abad ke-8. Kedua kisah ini mirip, berceritakan tentang putra raja yang terbuang dan kembali dipertemukan dengan ayahnya—seorang raja—melalui praktik tajen ayam .
Di dalam epik La Galigo dari Bugis, tokoh utama Sawerigading juga digambarkan sebagai penggemar tajen ayam . Diberitakan bahwa orang Bugis tidak dianggap pemberani (tobarani) jika tidak menyabung ayam (massaung manu’). Hal ini menunjukkan bahwa di berbagai masyarakat seperti Jawa, Bali, dan Sunda, ayam jantan menjadi simbol keberanian dan kejantanan.
Baca Juga :
Kelebihan dan Kekurangan Ayam Aduan Brazilian
Simbolisme Ayam dalam Budaya dan Ritual
Apabila folklore atau epik masa lalu digunakan sebagai referensi sejarah, kita bisa menyimpulkan bahwa simbolisme ayam memberikan makna sakral sebagai representasi kekuatan. Sakralitas tajen ayam terlihat terutama di Bali.
Geertz dalam penelitiannya di Bali menyoroti pentingnya taji, yang terbuat dari logam besi sepanjang empat hingga lima inci dan dipasang di kedua kaki ayam. Taji ini hanya diasah pada saat bulan gerhana atau saat bulan tidak penuh, dan harus dirawat dengan baik oleh pemilik serta dijaga agar tidak terlihat atau dipegang oleh perempuan.
Sabung Ayam dalam Prasasti dan Konteks Ritual
Menurut Geertz, istilah ‘sabung’ adalah sebutan untuk ayam jantan dan telah digunakan dalam prasasti di Bali sejak tahun 922 M. Istilah ini digunakan secara metaforis untuk merujuk pada “pahlawan,” “serdadu,” “pemenang,” atau “orang kuat,” meski Geertz tidak menyebutkan sumber prasasti yang dimaksud.
Dia juga tidak membahas perbedaan makna antara tajen ayam dalam konteks ‘tetajen’ dan ‘tabuh rah’. Kedua ritus ini jelas memiliki konteks dan makna yang berbeda; ‘tetajen’ adalah ritus sosial yang bersifat profan dan terkait dengan perjudian, sedangkan ‘tabuh rah’ adalah ritus yang bersifat sakral dan berkaitan dengan unsur keagamaan.
Post Comment